Salah satu fenomena yang dirasakan
setiap penuntut ilmu, terutama ilmu-ilmu syariat di Saudi Arabia adalah kuatnya
pengaruh pemikiran Imam Ibnu Taimiyah. Hal itu tampak dalam berbagai kajian
yang ada, baik itu kajian formal dalam lembaga-lembaga pendidikan resmi; atau
non-formal, seperti kajian-kajian terbuka yang biasa ditemukan di masjid-masjid
Pendapat-pendapat serta ungkapan
tokoh ini sangat sering menjadi kutipan dalam berbagai disiplin ilmu yang
dikaji, khususnya aqidah dan aliran kalam, manhaj, tafsir, dan fiqh atau hukum
Islam. Kendati kehadiran khazanah ilmu Ibnu Taimiyah dalam kajian-kajian
seperti Hadits dan sejarah juga tak bisa dipandang sebelah mata.
Bila ditarik ke belakang, kuatnya
pengaruh pemikiran Ibnu Taimiyah tersebut sebenarnya telah ditanamkan
fondasinya oleh reformis dakwah Semenanjung Arabia, Syekh Muhammad b.
Abdilwahhab. Sebagai tokoh dakwah yang menyerukan kembali kepada kemurnian
ajaran Islam, Ibnu Abdilwahhab banyak terinspirasi dari gerakan yang
dilancarkan oleh Ibnu Taimiyah beberapa abad sebelumnya.
Muhammad al-Salman, dalam
analisisnya terhadap gerakan reformasi Ibnu Abdilwahhab merangkum:
"Syekh Muhammad b. Abdilwahhab demikian terinspirasi
oleh pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah. Sebagaimana Ibnu Taimiyah terdidik dalam
tradisi madrasah fiqh Hanbali, yang kagum terhadap sosok Ahmad b. Hanbal yang
menentang sifat taqlid buta, menambah-nambah ajaran agama dan syirik; maka
demikian halnya Ibnu Abdilwahhab. Sebagaimana Ibnu Taimiyah secara tajam
mengeritik gerakan tasawuf (yang fanatik) dan filsafat Yunani yang menyimpang;
serta (sebaliknya) mengajak untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits serta
tradisi generasi awal Islam, begitu juga dilakukan Ibnu Abdilwahhab . . .
Lantaran itu, karya-karya dan tulisan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, demikian
juga muridnya Ibn Qayim al-Jawziyah, merupakan kitab-kitab yang demikian
berharga di sisi Syekh dan murid-muridnya . . . ."
Yang mungkin menarik ialah kenyataan
bahwa inti dari pemikiran Ibnu Taimiyah tidaklah bertumpu pada kultus individu
atau fanatisme buta. Sebaliknya, nafas kebebasan dan berpikir kritis menjadi
warna konstruksi pemikiran yang ditawarkan Ibnu Taimiyah. Kendati harus segera
ditambahkan, bahwa berpikir kritis yang diintrodusir Ibnu Taimiyah mengacu
secara ketat kepada wahyu: Al-Qur’an dan Hadits yang shahih
Itu sebabnya, kendati gagasan dan
pemikiran Ibnu Taimiyah diterima dan dipakai secara luas di Saudi Arabia, namun
semangat kultus atau fanatisme, hatta terhadap pribadi atau
pendapat-pendapatnya sekalipun, tidak menemukan pembuktian. Tak ada
simbol-simbol, perilaku, atau sikap yang menjadi ritus atau tradisi yang dilakukan
atau diajarkan yang menunjukkan ke arah sana.
Landasan inilah yang salah satunya
juga menjadi titik tekan dakwah Ibnu Abdilwahhab yang selanjutnya berkembang di
Semenanjung Arab. Landasan yang kelak diikuti oleh ulama-ulama dan sarjana yang
melanjutkan estafet dakwahnya.
Tulisan ini hendak mengambil contoh
yang sangat dekat. Ambil misal Kitab Hasyiyah al-Raudh al-Murbi’, sebuah
kitab fiqh yang dewasa ini dipelajari pada tingkat sarjana S1 di beberapa
fakultas di King Saud University, Riyadh. Kendati matan (induk kitab)
yang menjadi patron kitab ini bermazhab Hanbali, namun nama-nama seperti Imam
al-Nawawi, Imam al-Bagawi, dan al-Hafizh Ibnu Katsir (ketiganya bermazhab fiqh
Syafi’i), Imam Ibnu Abdilbarr dan Imam Ibnu Rusyd (keduanya bermazhab fiqh
Maliki); tidak asing bagi pembacanya. Sebab, pendapat-pendapat dan nama-nama
mereka secara familiar disajikan di dalamnya, tanpa membedakan atau ada kesan
sekat mazhab fiqh.
Patut diingat, bahwa penulis buku
ini, Abdurrahman b. Qasim, adalah juga yang berjasa menyusun Kitab Majmu’
Fatawa Ibni Taimiyah, kitab kompilasi tematik fatwa-fatwa dan risalah Ibnu
Taimiyah. Sehingga mudah ditebak bila dalam kitab Hasyiyah-nya di atas,
penulisnya banyak mengutip pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah yang “bebas dan
kritis” itu.
Dalam kata pengantar Hasyiyah, penulisnya
antara lain menjelaskan bagaimana dia memposisikan pendapat ulama terhadap
dalil nash:
. . . (para ulama) telah menegaskan
bahwa nash-nash yang shahih lagi jelas, yang bebas dari mu’aridh (dalil lain
kontradiktif) dan nasikh (dalil lain yang mengamandemen kandungan hukumnya);
demikian pula perkara ijma’, tak berlaku mazhab di dalamnya. Term mazhab
terbatas pada pemahaman mereka terhadap nash, atau pengetahuan yang diketahui
seorang alim dan luput dari alim yang lain, atau perkara ijtihadiyah dan
semacamnya. Mereka pun sepakat bahwa tidak boleh pendapat seorang itu dinilai
benar, kecuali dengan landasan argementasi yang kuat.
Bila digambarkan, posisi mazhab
dalam konteks ini menjadi sangat kecil, sebab tidak keluar dari kerangka nash
atau implementasinya (tahqiq al-manath), dan di lain pihak serta secara
telak: berada di bawah nash. Pendapat-pendapat manusia (baca: pakar atau
sarjana) dalam kerangka tersebut setara dan dalam derajat yang sama. Sehingga,
tulis Abdurrahman di tempat yang lain: “pendapat-pendapat ulama dapat
ditemukan argementasinya dari dalil syariat, bukannya pendapat-pendapat ulama
itu yang boleh dibenturkan dengan dalil syariat.”
Sikap
bebas dan kritis namun bertanggung jawab itu dapat pula ditemukan secara jelas
pada sosok mufti yang lalu, Syekh ‘Abdul’aziz b. Baz. Kompilasi fatwanya yang
dapat ditelusuri lewat Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, cetak
maupun via internet, membuktikan itu.
Dalam salah satu tesis ilmiah di UIN
Alauddin Makassar yang meneliti fatwa-fatwa Ibn Baz dalam Majmu’ Fatawa,
dikemukakan fakta menarik: hampir tak ada fatwa atau pemikiran hukum yang dia
kemukakan tanpa mengutip ayat Al-Qur’an atau Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam yang terkait; sebagaimana tak ada fatwa yang dia kemukakan dengan
merujukkannya kepada mazhab fiqh tertentu. Dengan demikian, orang yang
mengambil fatwa Ibn Baz tak akan pernah merasa ikut kepada mazhab fiqh
tertentu, atau kepada kerangka pemikiran hukum imam tertentu; selain beramal
sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Karena sikap bebas dan kritisnya
itu, tak heran bila Tim Penyusun al-Mawsu’ah al-Muyassarah fii al-Adyan wa
al-Madzahib wa al-Ahzab al-Mu’ashirah (Ensiklopedi Agama, Aliran dan Paham
Kontemporer) menobatkan Ibn Baz sebagai salah satu tokoh Dunia Islam yang punya
jasa besar mempromosikan tradisi ijtihad dan anti-taqlid.
Tulisan ini pada akhirnya sekadar
ingin mendiskusikan kembali fenomena pengaruh pemikiran Ibnu Taimiyah di Saudi
Arabia, yang tentunya juga berpengaruh terhadap nilai-nilai yang diberikan
kepada pelajar dan mahasiswa yang belajar di sana. Bahwa kendati Ibnu Taimiyah
menjadi salah satu kiblat pemikiran yang banyak menjadi rujukan, namun tidak
dalam konteks kultus apalagi fanatisme. Tapi justru berangkat dari spirit: “Sesungguhnya
manusia (yang benar) senantiasa menuntut ilmu dan iman, sehingga bila dia
menemukan ilmu yang sebelumnya samar baginya, dia segera mengamalkannya. Bukan
karena tidak berpendirian. Tapi karena dia telah mendapatkan petunjuk, lantas
Allah menambahkan petunjuk kepadanya.” (Ibnu Taimiyah)
Abul Abbas Taqiuddin Ahmad bin Abdus
Salam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani
yang biasa disebut dengan nama Ibnu Taimiyah saja (lahir: 22 Januari
1263/10 Rabiul Awwal
661 H – wafat:
1328/20 Dzulhijjah
728 H), adalah seorang pemikir dan ulama Islam dari Harran, Turki.
Ibnu Taymiyyah berpendapat bahwa
tiga generasi awal Islam, yaitu Rasulullah Muhammad SAW
dan Sahabat
Nabi, kemudian Tabi'in yaitu generasi yang mengenal langsung para Sahabat
Nabi, dan Tabi'ut tabi'in yaitu generasi yang mengenal
langsung para Tabi'in, adalah contoh yang terbaik untuk kehidupan Islam.
Biografi
Ia berasal dari keluarga religius.
Ayahnya Syihabuddin bin Taimiyah adalah seorang syaikh, hakim, dan khatib.
Kakeknya Majduddin Abul Birkan Abdussalam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani
adalah seorang ulama yang menguasai fiqih, hadits, tafsir, ilmu ushul dan
penghafal Al Qur'an (hafidz).
Ibnu Taimiyah lahir di zaman ketika Baghdad merupakan
pusat kekuasaan dan budaya Islam pada masa Dinasti
Abbasiyah. Ketika berusia enam tahun (tahun 1268), Ibnu Taimiyah
dibawa ayahnya ke Damaskus disebabkan serbuan tentara Mongol atas Irak.
Perkembangan dan hasrat keilmuan
Semenjak kecil sudah terlihat
tanda-tanda kecerdasannya. Begitu tiba di Damaskus, ia
segera menghafalkan Al-Qur’an dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama,
hafizh dan ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat
para tokoh ulama tersebut tercengang. Ketika umurnya belum mencapai belasan
tahun, ia sudah menguasai ilmu ushuluddin dan mendalami bidang-bidang tafsir,
hadits, dan bahasa Arab. Ia telah mengkaji Musnad Imam Ahmad sampai beberapa
kali, kemudian Kutubu Sittah dan Mu’jam At-Thabarani Al-Kabir.
Suatu kali ketika ia masih
kanak-kanak, pernah ada seorang ulama besar dari Aleppo, Suriah yang sengaja
datang ke Damaskus khusus untuk melihat Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya
menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan
belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya
secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa
sanad, iapun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya,
sehingga ulama tersebut berkata: "Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak
mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah
sepertinya".
Sejak kecil ia hidup dan dibesarkan
di tengah-tengah para ulama sehingga mempunyai kesempatan untuk membaca
sepuas-puasnya kitab-kitab yang bermanfaat. Ia menggunakan seluruh waktunya
untuk belajar dan belajar dan menggali ilmu, terutama tentang Al-Qur'an dan
Sunnah Nabi.
Kepribadiannya
Ia adalah orang yang keras
pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah,
mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia pernah
berkata: ”Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu
merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali
atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu
terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah.
Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi
cita-citaku.”
Menjadi Jenderal
Sangat luar biasa, tidak hanya di
lapangan ahli ilmu pengetahuan saja ia terkenal, ia juga pernah memimpin sebuah
pasukan untuk melawan pasukan Mongol di Syakhab, dekat kota Damaskus, pada
tahun 1299 Masehi dan beliau mendapat kemenangan yang gemilang. Pada Februari
1313, beliau juga bertempur di kota Jerussalem dan mendapat kemenangan. Dan
sesudah karirnya itu, beliau tetap mengajar sebagai profesor yang ulung [1]
Pendidikan dan karyanya
Di Damaskus ia belajar pada banyak
guru, dan memperoleh berbagai macam ilmu diantaranya ilmu hitung (matematika),
khat (ilmu tulis menulis Arab), nahwu, ushul fiqih. Ia dikaruniai kemampuan
mudah hafal dan sukar lupa. Hingga dalam usia muda, ia telah hafal Al-Qur'an.
Kemampuannya dalam menuntut ilmu mulai terlihat pada usia 17 tahun. Dan usia
19, ia telah memberi fatwa dalam masalah masalah keagamaan.
Ibnu Taymiyyah amat menguasai ilmu rijalul hadits
(perawi hadits) yang berguna dalam menelusuri Hadits dari
periwayat atau pembawanya dan Fununul hadits (macam-macam hadits) baik yang
lemah, cacat atau shahih. Ia memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus
Sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan
ayat-ayat sebagai hujjah atau dalil, ia memiliki kehebatan yang luar biasa,
sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufassir atau ahli
tafsir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh, ilmu 'ushul sambil mengomentari
para filusuf . Sehari semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah (buku kecil)
yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang syari'ah. Ibnul Wardi menuturkan dalam Tarikh Ibnul Wardi
bahwa karangannya mencapai lima ratus judul. Karya-karyanya yang terkenal
adalah Majmu' Fatawa yang berisi masalah fatwa fatwa dalam agama Islam
Wafatnya
Ibnu Taimiyah wafatnya di dalam
penjara Qal`ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang muridnya Ibnul
Qayyim, ketika beliau sedang membaca Al-Qur an surah Al-Qamar yang berbunyi
"Innal Muttaqina fi jannatin wanaharin"[1]
. Ia berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari,
mengalami sakit dua puluh hari lebih. Ia wafat pada tanggal 20 DzulHijjah th.
728 H, dan dikuburkan pada waktu Ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al-Islam
Syarafuddin.
Jenazah ia disalatkan di masjid
Jami`Bani Umayah sesudah salat Zhuhur dihadiri para pejabat pemerintah, ulama,
tentara serta para penduduk.
Nama besar Syaikhul Islam, Ibnu
Taimiyah, sudah tak asing lagi di telinga
umat Islam. Ketokohan dan keilmuannya sangat disegani. Hal ini dikarenakan
luasnya ilmu yang dimiliki serta ribuan buku yang menjadi karyanya. Sejumlah
julukan diberikan Ibnu Taimiyah, antara lain Syaikhul Islam, Imam, Qudwah,
'Alim, Zahid, Da'i, dan lain sebagainya.
umat Islam. Ketokohan dan keilmuannya sangat disegani. Hal ini dikarenakan
luasnya ilmu yang dimiliki serta ribuan buku yang menjadi karyanya. Sejumlah
julukan diberikan Ibnu Taimiyah, antara lain Syaikhul Islam, Imam, Qudwah,
'Alim, Zahid, Da'i, dan lain sebagainya.
Ulama ini bernama lengkap Ahmad bin
Abdis Salam bin Abdillah bin Al-Khidir
bin Muhammad bin Taimiyah An-Numairy al-Harrany al-Dimasyqy. Ia dilahirkan
di Harran, sebuah kota induk di Jazirah Arabia yang terletak di antara
sungai Dajalah (Tigris) dan Efrat, pada Senin, 12 Rabi'ul Awal 661 H (1263
M).
bin Muhammad bin Taimiyah An-Numairy al-Harrany al-Dimasyqy. Ia dilahirkan
di Harran, sebuah kota induk di Jazirah Arabia yang terletak di antara
sungai Dajalah (Tigris) dan Efrat, pada Senin, 12 Rabi'ul Awal 661 H (1263
M).
Dikabarkan, Ibnu Taimiyah sebelumnya
tinggal di kampung halamannya di
Harran. Namun, ketika ada serangan dari tentara Tartar, bersama orang tua
dan keluarganya, mereka hijrah ke Damsyik. Mereka berhijrah pada malam hari
untuk menghindari serangan tentara Tartar tersebut. Mereka membawa sebuah
gerobak besar yang berisi kitab-kitab besar karya para ulama. Disebutkan,
orang tua Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama juga yang senantiasa gemar
belajar dan menuntut ilmu. Ia berharap, kitab-kitab yang dimilikinya bisa
diwariskan kepada Ibnu Taimiyah.
Harran. Namun, ketika ada serangan dari tentara Tartar, bersama orang tua
dan keluarganya, mereka hijrah ke Damsyik. Mereka berhijrah pada malam hari
untuk menghindari serangan tentara Tartar tersebut. Mereka membawa sebuah
gerobak besar yang berisi kitab-kitab besar karya para ulama. Disebutkan,
orang tua Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama juga yang senantiasa gemar
belajar dan menuntut ilmu. Ia berharap, kitab-kitab yang dimilikinya bisa
diwariskan kepada Ibnu Taimiyah.
Konon, sejak kecil Ibnu Taimiyah
sudah menunjukkan kecerdasannya. Ketika
masih berusia belasan tahun, Ibnu Taimiyah sudah hafal Alquran dan
mempelajari sejumlah bidang ilmu pengetahuan di Kota Damsyik kepada para
ulama-ulama terkenal di zamannya.
masih berusia belasan tahun, Ibnu Taimiyah sudah hafal Alquran dan
mempelajari sejumlah bidang ilmu pengetahuan di Kota Damsyik kepada para
ulama-ulama terkenal di zamannya.
Disebutkan dalam kitab *al-Uqud
al-Daruriyah, * suatu hari ada seorang ulama
dari Halab (sebuah kota di Syria), sengaja datang ke Damsyik untuk melihat
kemampuan si bocah yang bernama Ibnu Taimiyah, yang telah menjadi buah bibir
masyarakat. Ketika bertemu, ulama ini menguji kemampuan Ibnu Taimiyah dengan
menyampaikan puluhan matan hadis sekaligus. Di luar dugaan, Ibnu Taimiyah
dengan mudah menghapal hadis tersebut lengkap matan dan sanadnya. Hingga
ulama tersebut berkata, ''Jika anak ini hidup, niscaya Ia kelak mempunyai
kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah yang memiiki kemampuan
seperti dia.''
dari Halab (sebuah kota di Syria), sengaja datang ke Damsyik untuk melihat
kemampuan si bocah yang bernama Ibnu Taimiyah, yang telah menjadi buah bibir
masyarakat. Ketika bertemu, ulama ini menguji kemampuan Ibnu Taimiyah dengan
menyampaikan puluhan matan hadis sekaligus. Di luar dugaan, Ibnu Taimiyah
dengan mudah menghapal hadis tersebut lengkap matan dan sanadnya. Hingga
ulama tersebut berkata, ''Jika anak ini hidup, niscaya Ia kelak mempunyai
kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah yang memiiki kemampuan
seperti dia.''
Berkat kecerdasannya, ia dengan
mudah menyerap setiap pelajaran yang
diberikan. Bahkan, ketika usianya belum menginjak remaja, ia sudah menguasai
ilmu ushuluddin (teologi) dan memahami berbagai disiplin ilmu, seperti
tafsir, hadis, dan bahasa Arab. Sehingga, banyak ulama yang kagum akan
kecerdasannya. Dan ketika dewasa, kemampuan Ibnu Taimiyah pun semakin
matang.
Pada umurnya yang ke-17, Ibnu Taimiyah sudah siap mengajar dan berfatwa,
terutama dalam bidang ilmu tafsir, ilmu ushul, dan semua ilmu-ilmu lain,
baik pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya. ''Ibnu Taimiyah mempunyai
pengetahuan yang sempurna mengenai *rijalul hadis* (mata rantai sanad,
periwayat), ilmu *al-Jahru wa al-Ta'dil*, thabaqat sanad, pengetahuan
tentang hadis sahih dan dlaif, dan lainnya,'' ujar Adz-Dzahabi.
diberikan. Bahkan, ketika usianya belum menginjak remaja, ia sudah menguasai
ilmu ushuluddin (teologi) dan memahami berbagai disiplin ilmu, seperti
tafsir, hadis, dan bahasa Arab. Sehingga, banyak ulama yang kagum akan
kecerdasannya. Dan ketika dewasa, kemampuan Ibnu Taimiyah pun semakin
matang.
Pada umurnya yang ke-17, Ibnu Taimiyah sudah siap mengajar dan berfatwa,
terutama dalam bidang ilmu tafsir, ilmu ushul, dan semua ilmu-ilmu lain,
baik pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya. ''Ibnu Taimiyah mempunyai
pengetahuan yang sempurna mengenai *rijalul hadis* (mata rantai sanad,
periwayat), ilmu *al-Jahru wa al-Ta'dil*, thabaqat sanad, pengetahuan
tentang hadis sahih dan dlaif, dan lainnya,'' ujar Adz-Dzahabi.
Sejak kecil, Ibnu Taimiyah hidup dan
dibesarkan di tengah-tengah para ulama
besar. Karena itu, ia mempergunakan kesempatan itu untuk menuntut ilmu
sepuas-puasnya dan menjadikan mereka sebagai 'ilmu berjalan.'
besar. Karena itu, ia mempergunakan kesempatan itu untuk menuntut ilmu
sepuas-puasnya dan menjadikan mereka sebagai 'ilmu berjalan.'
Karena penguasaan ilmunya yang
sangat luas itu, ia pun banyak mendapat
pujian dari sejumlah ulama terkemuka. Antara lain, Al-Allamah As-Syaikh
Al-Karamy Al-Hambali dalam kitabnya *Al-Kawakib Al-Darary,* Al-Hafizh
Al-Mizzy, Ibnu Daqiq Al-Ied, Abu Hayyan An-Nahwy, Al-Hafizh Ibnu Sayyid
An-Nas, Al-Hafizh Az-Zamlakany, Al-Hafidh Adz-Dzahabi, dan ulama lainnya.
pujian dari sejumlah ulama terkemuka. Antara lain, Al-Allamah As-Syaikh
Al-Karamy Al-Hambali dalam kitabnya *Al-Kawakib Al-Darary,* Al-Hafizh
Al-Mizzy, Ibnu Daqiq Al-Ied, Abu Hayyan An-Nahwy, Al-Hafizh Ibnu Sayyid
An-Nas, Al-Hafizh Az-Zamlakany, Al-Hafidh Adz-Dzahabi, dan ulama lainnya.
''Aku belum pernah melihat orang
seperti Ibnu Taimiyah, dan belum pernah
kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap*Kitabullah * dan Sunah
Rasulullah SAW selain dirinya,'' ungkap Al-Mizzy. ''Kalau Ibnu Taimiyah
bukan Syaikhul Islam, lalu siapa dia ini?'' kata Al-Qadli Ibnu Al-Hariry.
kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap*Kitabullah * dan Sunah
Rasulullah SAW selain dirinya,'' ungkap Al-Mizzy. ''Kalau Ibnu Taimiyah
bukan Syaikhul Islam, lalu siapa dia ini?'' kata Al-Qadli Ibnu Al-Hariry.
*Teguh Pendirian*
Disamping dikenal sebagai Syaikhul
Islam, Ibnu Taimiyah juga dikenal sebagai
sosok ulama yang keras dan teguh dalam pendirian, sesuai dengan yang
disyariatkan dalam Islam. Dia dikenal pula sebagai seorang
sosok ulama yang keras dan teguh dalam pendirian, sesuai dengan yang
disyariatkan dalam Islam. Dia dikenal pula sebagai seorang
*mujaddid*(pembaru) dalam pemikiran
Islam.
Ia pernah berkata, ''Jika dibenakku
ada suatu masalah, sedangkan hal itu
merupakan masalah yang *musykil* (ragu) bagiku, aku akan beristigfar 1000
kali, atau lebih atau kurang, hingga dadaku menjadi lapang dan masalah itu
terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, masjid, atau madrasah.
Semuanya tidak menghalangiku untuk berzikir dan beristigfar hingga terpenuhi
cita-citaku. ''
merupakan masalah yang *musykil* (ragu) bagiku, aku akan beristigfar 1000
kali, atau lebih atau kurang, hingga dadaku menjadi lapang dan masalah itu
terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, masjid, atau madrasah.
Semuanya tidak menghalangiku untuk berzikir dan beristigfar hingga terpenuhi
cita-citaku. ''
Tak jarang, pendapatnya itu
menimbulkan polemik di kalangan ulama, termasuk
mereka yang tidak suka dengan Ibnu Taimiyah. Karena ketegasan sikapnya dan
kuatnya dalil-dalil *naqli* dan *aqli* yang dijadikannya sebagai
*hujjah*(argumentas i), ia tak segan-segan melawan arus. Ulama yang
tidak suka dengannya kemudian menyebutnya sebagai *ahlul bid'ah* dan pembuat kerusakan dalam syariat.
mereka yang tidak suka dengan Ibnu Taimiyah. Karena ketegasan sikapnya dan
kuatnya dalil-dalil *naqli* dan *aqli* yang dijadikannya sebagai
*hujjah*(argumentas i), ia tak segan-segan melawan arus. Ulama yang
tidak suka dengannya kemudian menyebutnya sebagai *ahlul bid'ah* dan pembuat kerusakan dalam syariat.
Ibnu Taimiyah juga banyak dikecam
oleh ulama Syiah dan menyebutnya sebagai
orang yang tidak suka terhadap *ahlul bayt* (keturunan Rasul dari Fatimah RA
dan Ali bin Abi Thalib RA). Ia juga banyak dikecam oleh para ulama wahabi
dengan menganggapnya sebagai seorang ulama yang merusak akidah Islam. Karena dianggap berbahaya, termasuk oleh penguasa setempat, ia kemudian
dizalimi dan dimasukkan ke dalam penjara. Di penjara, ia justru merasakan
kedamaian, sebab bisa lebih leluasa mengungkapkan pikirannya dan
menuangkannya dalam tulisan-tulisan. Beberapa karyanya berasal dari
ide-idenya selama di penjara.
orang yang tidak suka terhadap *ahlul bayt* (keturunan Rasul dari Fatimah RA
dan Ali bin Abi Thalib RA). Ia juga banyak dikecam oleh para ulama wahabi
dengan menganggapnya sebagai seorang ulama yang merusak akidah Islam. Karena dianggap berbahaya, termasuk oleh penguasa setempat, ia kemudian
dizalimi dan dimasukkan ke dalam penjara. Di penjara, ia justru merasakan
kedamaian, sebab bisa lebih leluasa mengungkapkan pikirannya dan
menuangkannya dalam tulisan-tulisan. Beberapa karyanya berasal dari
ide-idenya selama di penjara.
Di penjara, ia juga banyak
menyampaikan persoalan-persoalan keagamaan.
Hingga akhirnya, banyak narapidana yang belajar kepadanya. Beberapa di
antaranya, yang diputuskan bebas dan berhak keluar dari penjara, malah
menetap dan berguru kepadanya.
Hingga akhirnya, banyak narapidana yang belajar kepadanya. Beberapa di
antaranya, yang diputuskan bebas dan berhak keluar dari penjara, malah
menetap dan berguru kepadanya.
Ia wafat di dalam penjara *Qal'ah
Dimasyqy* pada 20 Dzulhijah 728 H (1328
M), dan disaksikan salah seorang muridnya, Ibnu al-Qayyim. Bersama
Najamuddin At-Tufi, mereka dijuluki sebagai trio pemikir bebas. Ibnu
Taimiyah berada di dalam penjara selama 27 bulan (dua tahun tiga bulan)
lebih beberapa hari.
M), dan disaksikan salah seorang muridnya, Ibnu al-Qayyim. Bersama
Najamuddin At-Tufi, mereka dijuluki sebagai trio pemikir bebas. Ibnu
Taimiyah berada di dalam penjara selama 27 bulan (dua tahun tiga bulan)
lebih beberapa hari.
Selama di penjara, Ia tidak pernah
mau menerima pemberian apa pun dari
penguasa. Jenazahnya dishalatkan di Masjid Jami' Bani Umayah sesudah shalat
Dzhuhur dan dimakamkan sesudah Ashar. Ibnu Taimiyah dimakamkan di samping
kuburan saudaranya, Syaikh Jamal Al-Islam Syarifuddin. Semua penduduk
Dimasyq (yang mampu) hadir untuk menshalatkan jenazahnya, termasuk para
umara, ulama, tentara, dan lainnya, hingga Kota Dimasyq menjadi libur total
hari itu. Bahkan, semua penduduk Dimasyq (Damaskus) tua, muda, laki,
perempuan, anak-anak keluar untuk menghormati kepergiannya. sya/berbagai
sumber
penguasa. Jenazahnya dishalatkan di Masjid Jami' Bani Umayah sesudah shalat
Dzhuhur dan dimakamkan sesudah Ashar. Ibnu Taimiyah dimakamkan di samping
kuburan saudaranya, Syaikh Jamal Al-Islam Syarifuddin. Semua penduduk
Dimasyq (yang mampu) hadir untuk menshalatkan jenazahnya, termasuk para
umara, ulama, tentara, dan lainnya, hingga Kota Dimasyq menjadi libur total
hari itu. Bahkan, semua penduduk Dimasyq (Damaskus) tua, muda, laki,
perempuan, anak-anak keluar untuk menghormati kepergiannya. sya/berbagai
sumber
*Cerdas Sejak Kecil*
Ibnu Taimiyah dikenal sebagai
seorang Syaikhul Islam yang cerdas dan
memiliki ilmu yang sangat luas. Kepandaian dan kercerdasannya diperolehnya
dengan ketekunan dan kerajinannya dalam menuntut ilmu sejak kecil. Hampir
tak ada waktu senggang tanpa ia habiskan dengan menuntut ilmu. Dan setelah
dewasa, ia pun masih suka belajar dan berbagi pengetahuan dengan murid-murid
dan ulama lainnya.
memiliki ilmu yang sangat luas. Kepandaian dan kercerdasannya diperolehnya
dengan ketekunan dan kerajinannya dalam menuntut ilmu sejak kecil. Hampir
tak ada waktu senggang tanpa ia habiskan dengan menuntut ilmu. Dan setelah
dewasa, ia pun masih suka belajar dan berbagi pengetahuan dengan murid-murid
dan ulama lainnya.
Para ahli sejarah mencatat, meskipun
dalam usia kanak-kanak, ia tidak
tertarik pada segala permainan dan senda gurau sebagaimana yang diperbuat
anak-anak pada umumnya. Dia tidak pernah menyia-nyiakan waktu untuk itu. Dia
pergunakan setiap kesempatan untuk menelaah soal-soal kehidupan dan sosial
kemasyarakatan, di samping terus mengamati setiap gejala yang terjadi
tentang tradisi maupun perangai manusia.
tertarik pada segala permainan dan senda gurau sebagaimana yang diperbuat
anak-anak pada umumnya. Dia tidak pernah menyia-nyiakan waktu untuk itu. Dia
pergunakan setiap kesempatan untuk menelaah soal-soal kehidupan dan sosial
kemasyarakatan, di samping terus mengamati setiap gejala yang terjadi
tentang tradisi maupun perangai manusia.
Ibnu Taimiyah mempelajari berbagai
disiplin ilmu yang dikenal pada masa itu.
Kemampuannya berbahasa Arab sangat menonjol. Dia menguasai ilmu nahwu (tata
bahasa Arab) dari ahli nahwu, Imam Sibawaihi. Ibnu Taimiyah juga suka
belajar ilmu hisab (matematika), kaligrafi, tafsir, fikih, hadis, dan lainnya.
Ibnu Abdul Hadi berkata, "Guru-guru di mana Ibnu Taimiyah belajar dari
mereka lebih dari dua ratus orang. Di antaranya yang teristimewa adalah Ibnu
Abdid Daim Al-Muqaddasi dan para tokoh yang setingkat dengannya. Dia belajar
Musnad Imam Ahmad dan kitab-kitab Shahih Enam secara berulang-ulang.
Kemampuannya berbahasa Arab sangat menonjol. Dia menguasai ilmu nahwu (tata
bahasa Arab) dari ahli nahwu, Imam Sibawaihi. Ibnu Taimiyah juga suka
belajar ilmu hisab (matematika), kaligrafi, tafsir, fikih, hadis, dan lainnya.
Ibnu Abdul Hadi berkata, "Guru-guru di mana Ibnu Taimiyah belajar dari
mereka lebih dari dua ratus orang. Di antaranya yang teristimewa adalah Ibnu
Abdid Daim Al-Muqaddasi dan para tokoh yang setingkat dengannya. Dia belajar
Musnad Imam Ahmad dan kitab-kitab Shahih Enam secara berulang-ulang.
Karena penguasaan ilmunya yang luas
itu, banyak murid-muridnya yang sukses
menjadi ulama. Di antaranya *Al-Hafizh* Ibnu al-Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu
Abdul Hadi, *Al-Hafizh* Ibnu Katsir, dan *Al-Hafizh* Ibnu Rajab Al-Hanbali.
menjadi ulama. Di antaranya *Al-Hafizh* Ibnu al-Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu
Abdul Hadi, *Al-Hafizh* Ibnu Katsir, dan *Al-Hafizh* Ibnu Rajab Al-Hanbali.
Ibnu Taimiyah juga telah melahirkan
banyak karya fenomenal yang menjadi
pegangan dan rujukan ulama-ulama sesudahnya. Di antaranya, *Minhajus Sunnah,
Al-Jawab Ash-Shahih Liman Baddala Dina Al-Masih, An Nubuwah, Ar-Raddu 'Ala
Al-Manthiqiyyin, Iqtidha'u Ash-Shirathi Al-Mustaqim, Majmu' Fatawa,
Risalatul Qiyas, Minhajul Wushul Ila 'Ilmil Ushul, Syarhu Al-Ashbahani war
Risalah Al-Humuwiyyah, At-Tamiriyyah, Al-Wasithiyyah, Al-Kailaniyyah,
Al-Baghdadiyyah, Al-Azhariyyah, dan lain-lain.
pegangan dan rujukan ulama-ulama sesudahnya. Di antaranya, *Minhajus Sunnah,
Al-Jawab Ash-Shahih Liman Baddala Dina Al-Masih, An Nubuwah, Ar-Raddu 'Ala
Al-Manthiqiyyin, Iqtidha'u Ash-Shirathi Al-Mustaqim, Majmu' Fatawa,
Risalatul Qiyas, Minhajul Wushul Ila 'Ilmil Ushul, Syarhu Al-Ashbahani war
Risalah Al-Humuwiyyah, At-Tamiriyyah, Al-Wasithiyyah, Al-Kailaniyyah,
Al-Baghdadiyyah, Al-Azhariyyah, dan lain-lain.