Minggu, 31 Juli 2011

Agama dan Perubahan Sosial


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam lapangan sosiologi dan antropologi, perubahan sosial adalah wacana inti di mana penelitian dan perbedaan pendapat para ahli terjadi. Sejauh manusia sebagai pendukung kehidupan social dan budaya masih hidup, selama itu pula perubahan akan terjadi. Kontak dengan budaya lain yang melahirkan difusi, utamanya penemuan-penemuan baru, perluasan yang cepat pada mekanisme pendidikan formal, intensitas konflik terhadap nilai-nilai yang ada akibat sistem sosial yang terbuka dan terbukanya antisipasi masa depan merupakan daya dorong utama terjadinya perubahan.
Perkembangan dunia yang semakin maju disertai dengan era globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat dalam beberapa bidang kehidupan masyarakat, seperti medis, hukum, sosial serta ekonomi telah membawa pengaruh yang besar, termasuk persoalanpersoalan hukum.1 Masyarakat Islam sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari dunia, tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan yang menyangkut kedudukan hukum suatu persoalan.
Persoalan-persoalan baru yang status hukumnya sudah jelas dan tegas yang dinyatakan secara eksplisit dalam al-Qur’an dan al-Hadis, tidak akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Islam. Akan tetapi, terhadap persoalan-persoalan baru yang belum jelas status hukumnya dalam kedua sumber itu, menuntut para Ulama untuk memberi solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan dinamis. Di sinilah letak strategisnya posisi ijtihad sebagai instrumen untuk melakukan ‘ social engineering’. Hukum Islam akan berperan secara nyata dan fungsional kalau ijtihad ditempatkan secara proporsional dalam mengantisipasi dinamika social dengan berbagai kompleksitas persoalan yang ditimbulkannya.



B.     Rumusan Masalah
a.       Apa kaitannya agama dan Perubahan Sosial ?
b.      Apa yang menyebabkan pasang surutnya keagaman di Indonesia?
c.       Apa yang dimaksud dengan dimensi ajaran islam melalui ijtihad?

C.    Tujuan
  1. Untuk mengetahui perbedaan agama dan perubahan sosial
  2. Untuk mengetahui penyebab pasang surutnya keagamaan di Indonesia
Untuk mengetahui dimensi ajaran islam melalui ijtihad


BAB II
AGAMA DAN PERUBAHAN SOSIAL

A.    Islam dan Perubahan Sosial
Masyarakat dengan berbagai dinamika yang ada menuntut adanya perubahan sosial, dan setiap perubahan sosial pada umumnya meniscayakan adanya perubahan sistem nilai dan hukum. Marx Weber dan Emile Durkheim menyatakan bahwa “hukum merupakan refleksi dari solidaritas yang ada dalam masyarakat”. Senada dengan Marx Weber dan Durkheim, Arnold M. Rose mengemukakan teori umum tentang perubahan sosial hubungannya dengan perubahan hukum.
Menurutnya, perubahan hukum itu akan dipengaruhi oleh tiga faktor; pertama, adanya komulasi progresif dari penemuan-penemuan di bidang teknologi; kedua, adanya kontak atau konflik antarkehidupan masyarakat; dan ketiga, adanya gerakan sosial ( social movement).2 Menurut teoriteori di atas, jelaslah bahwa hukum lebih merupakan akibat dari pada faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan sosial.
Pengaruh-pengaruh unsur perubahan di atas dapat menimbulkan perubahan-perubahan sosial dalam sistem pemikiran Islam, termasuk di dalamnya pembaruan hukum Islam. Pada dasarnya pembaruan pemikiran hukum Islam hanya mengangkat aspek lokalitas dan temporalitas ajaran Islam, tanpa mengabaikan aspek universalitas dan keabadian hukum Islam itu sendiri. Tanpa adanya upaya pembaruan hukum Islam akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam memasyarakatkan hukum Islam khususnya dan ajaran Islam pada umumnya.
Untuk mengawal hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat Islam. Pada posisi ini ijtihad merupakan inner dynamic bagi lahirnya perubahan untuk mengawal cita-cita universalitas Islam sebagai sistem ajaran yang shalihun li kulli zaman wal makan. Umat Islam menyadari sepenuhnya bahwa sumber-sumber hukum normatif–tekstual sangatlah terbatas jumlahnya, sementara kasus-kasus baru di bidang hukum tidak terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat al-Mujtahid menyatakan bahwa:
Persoalan-persoalan kehidupan masyarakat tidak terbatas jumlahnya, sementara jumlah nash (baik al- Qur’an dan al-Hadis), jumlahnya terbatas. Oleh karena itu, mustahil sesuatu yang terbatas jumlahnya bisa menghadapi sesuatu yang tidak terbatas.4 Semangat atau pesan moral yang bisa kita pahami dari pernyataan Ibnu Rusyd di atas adalah anjuran untuk melakukan ijtihad terhadap kasus-kasus hukum baru yang tidak secara eksplisit dijelaskan sumber hukumnya dalam nash. Dengan demikian, Ijtihad merupakan satu-satunya jalan untuk mendinamisir ajaran Islam sesuai dengan tuntutan perubahan zaman dengan berbagai kompleksitas persoalannya yang memasuki seluruh dimensi kehidupan manusia

B.     Dinamisasi Ajaran Islam Melalui Ijtihad
Landasan normatif ijtihad sebagai sumber hukum sekaligus sebagai metodologi istinbat hokum dalam rangka dinamisasi ajaran agama adalah dialog Rasulullah dengan sahabat Muadz Ibn Jabal yang m enyatakan bahwa ia akan melakukan ijtihad bila tidak mendapatkan ketentuan hokum dalam al-Qur’an dan Hadis dari suatu kasus hukum. Tidak terdapatnya penjelasan hukum dalam al-Qur’an dan al-Hadis, menurut Amir Syarifudin dapat dilihat dari dua segi sebagai berikut.6
  1. Al-Qur’an dan al-Hadis secara jelas dan langsung tidak menetapkannya, tidak secara keseluruhan dan tidak pula sebagiannya. Contoh pada kasus ini adalah gerakan kodifikasi al- Qur’an dalam satu mushaf.
  2. Secara jelas, al-Qur’an dan al-Hadis memang tidak menyinggung hukum suatu kasus, namun secara tidak langsung atau bagiannya ada penjelasannya. Contoh hukum memukul kepala orangtua tidak ada aturan secara eksplisit dalam al-Qur’an, tetapi ada larangan mengucapkan kata-kata kasar ( uff) terhadap orangtua. Hukum memindahkan organ tubuh orang mati kepada orang yang masih hidup ( tranplantasi) tidak ada ketentuan nashnya yang secara spesifik merujuk pada hal itu, namun ada larangan merusak jasad orang mati. Karena tidak jelas dan tidak langsungnya penjelasan al-Qur’an dan al-Hadits, maka diperlukan upaya ijtihad. Sementara itu, menurut Muhammad Musa al-Tiwana, objek ijtihad itu dapat di bagi menjadi tiga bagian; pertama, ijtihad dalam rangka memberi penjelasan dan penafsiran terhadap nash; kedua, ijtihad dalam melakukan qiyas terhadap hukum-hukum yang telah ada dan telah disepakati; ketiga, ijtihad dalam arti penggunaan ra’yu. Pandangan al-Tiwana tersebut mengacu pada dua pemeliharaan objek ijtihad yang luas. Pertama, adalah persoalan-persoalan yang sudah ada ketentuan nashnya, namun masih bersifat dzanny (dugaan). Terhadap objek yang seperti ini, cara yang ditempuh adalah penelitian dalam menentukan makna al-‘aam (umum) atau al-khash
(khusus), al-mutlaq (mutlak) dan al-muqayyad (makna yang dibatasi). Kedua, persoalan-persoalan yang sama sekali belum ada nashnya. Pada hal yang semacam ini, maka pemecahannya dilakukan melalui ijtihad dengan menggunakan qiyas, istihsan dan dalil-dalil hukum lainnya.

C.    Pendekatam Studi Keislaman
Bertitik tolak dari objek ijtihad di atas, ada dua corak penalaran yang perlu dikemukakan dalam upaya menggali maqashid al-syari’ah. Dua corak penalaran dalam berijtihad tersebut adalah; penalaran ta’lili, dan penalaran istislahi. Penalaran ta’lili adalah upaya penggalian hokum yang bertumpu pada penentuan illat-illat hukum yang terdapat dalam suatu nash. Asumsi dasar dari penalaran ini bahwa nash-nash dalam masalah hukum sebagian diiringi dengan penyebutan illat-nya. Dalam kajian ushul fiqh, corak ta’lili ini mewujud dalam bentuk qiyas dan istihsan. Adapun penalaran Istislahi adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang disimpulkan diri nash.
Kedua model penalaran di atas bertumpu pada penggunaan al-ra’yu. Oleh karena itu, terdapat tiga karakter yang melekat dalam dua pendekatan di atas. Pertama, pendekatan ini mencoba memahami ketentuan nash tanpa terikat secara kaku dengan bunyi teks dan mengalihkan perhatiannya pada upaya mencari semangat moral yang terkandung dalam nash. Kedua, upaya mengganti pendekatan ta’abudi kepada pendekatan ta’aquli. Ketiga, upaya merumuskan illat hukum dan pesan moral nash dengan melihat setting sosial dan konteks zamannya. Dalam kaitan dengan dinamika masyarakat yang selalu berubah diiringi dengan munculnya masalah yang kompleks, maka dua corak/pendekatan penalaran di atas tampak lebih responsif dan solutif dalam menjawab masalah hukum. Tawaran teoritik dua pendekatan ini adalah kerja ilmiah melalui deduksi analogis dengan dasar pijakannya kemaslahatan.
Islam meyakini perubahan sebagai suatu realitas yang tidak bisa diingkari. Islam juga memberi posisi yang paling tepat demi memudahkan semua hal untuk berubah secara shahih dan aman. Agama berjalan bersama beriringan dengan lajunya kehidupan. Tugas agama adalah mengawal perubahan secara benar untuk kemaslahatan hidup manusia.9 Di sinilah sesungguhnya tugas seorang cendekiawan muslim untuk merumuskan pendekatan dan metodologi yang tepat sesuai dengan konteks yang melingkupinya agar agama menjadi fungsional dan bisa membumi.
Dalam hukum Islam, perubahan sosial budaya dan letak geografis menjadi variabel penting yang ikut mempengaruhi adanya perubahan hukum. Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyatakan bahwa “perubahan fatwa adalah dikarenakan perubahan zaman, tempat, keadaan, dan kebiasaan”
Dalam kaidah fiqh lainnya disebutkan “hukum itu berputar bersama illatnya (alasan hukum) dalam mewujudkan dan meniadakan hukum”11 Salah satu bukti konkret betapa faktor lingkungan sosial budaya berpengaruh terhadap hukum Islam adalah munculnya dua pendapat Imam Syafi’i yang dikenal dengan qaul qadim dan qaul jadid. Pendapat lama ( qaul qadim) adalah pendapat hukum Imam Syafi’i ketika beliau berada di Mesir.12 Perbedaan pendapat hukum dalam masalah yang sama dari seorang Mujtahid Imam Syafi’i jelas disebabkan faktor struktur sosial, budaya, letak geografis yang berada antara daerah Iraq (Baghdad) dan Mesir.
Dalam konteks historis, pemikiran bidang hukum Islam sesungguhnya memperlihatkan kekuatan yang dinamis dan kreatif dalam mengantisipasi setiap perubahan dan persoalanpersoalan baru. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah madzhab hukum yang memiliki corak sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang sisio-kultural dan politik di mana madzhab itu tumbuh dan berkembang. Warisan monumental yang sampai sekarang masih memperlihatkan akurasi dan relevansinya adalah kerangka metodologi penggalian hukum yang mereka ciptakan.
Dengan perangkat metodologi tersebut, segala permasalahan bisa didekati dan dicari legalitas hukumnya dengan metode qiyas, maslahah al-mursalah, istihsan, istishab, dan ‘urf. Dalam posisi demikian, hukum Islam akan berfungsi sebagai rekayasa sosial ( social engineering) untuk melakukan perubahan dalam masyarakat.


D.    Perubahan Sosial dan Pasang-Surutnya Semangat Keagamaan di Indonesia
Secara sosiologis munculnya semangat perubahan sosial di Indonesia, biasanya lebih difokuskan pada dinamika sosial yang berkembang, meskipun pada gilirannya hampir semua aspek dapat pula menjadi pemicu arah perubahan itu sendiri. Bahkan sebagaian sosiolog sependapat, bahwa perubahan di semua sektor merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar dan ditunda-tunda, kendatipun dalam proses perjalanannya diketemukan kendala-kendala yang tidak ringan. Sebut saja, mulai dari perubahan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, agama dan berbagai macam yang menyangkut hajat hidup rakyat Indonesia.Dalam konteks ini pula, penulis ingin “membedah” dengan “pisau” analisis sosiologis arah perubahan di Indonesia yang disebabkan keberadaan agama dengan berbagai potretnya.
Kehadiran agama pada dasarnya selalu disertai dengan “dua muka” (janus-face). Pada satu sisi, secara fungsional agama mempunyai watak sebagai “perekat sosial”, memupuk solidaritas sosial, toleran, dan seperangkat peranan yang memelihara kestabilan sosial (harmoni). Di sisi lain, agama juga mempunyai kecenderungan atomisasi (memecah-belah), disintegrasi, dan intoleransi. Secara teoritis-sosiologis, hal ini dapat juga difahami dari dua bentuk antagonisme dalam agama. Pertama, ketegangan atau konflik yang berkembang di kalangan umat suatu agama (intern). Kedua, ketegangan atau konflik yang terjadi antar umat beragama (ekstern).
Untuk beberapa kasus di Indonesia, semisal keberadaan agama Islam dengan kecenderungan dan intensitas perubahannya, dapat ditelaah melalui pengamatan yang serius, baik melalui umatnya maupun kiprah institusi-institusinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selintas terkesan kegairahan menghayati agama meningkat, terutama di kalangan masyarakat perkotaan yang nota-bene terdidik. Atau paling tidak pendidikannnya relatif sudah mapan. Kenyataan ini tidak memberikan jaminan dan mungkin masih diragukan, apakah ini mencerminkan bertumbuhnya kekuatan agama (Islam) atau sebaliknya? Sebab hal ini berbarengan dengan indikasi krisis kepercayaan sebagian umat Islam terhadap lembaga-lembaga politik (parpol) yang bernuansa agama (Islam) dan adanya “tekanan-tekanan” terhadap para penganutnya.
Dari kenyataan demikian, nampak adanya – dapat disebut “ideologi” — yang dapat menyaingi keberadaan agama (Islam). Indikasi ini lebih diperkuat dengan cara menghayati agama, di mana penghayatan dirasakan cukup apabila sudah melaksanakan kewajiban pribadinya dalam beribadah. Sedangkan tanggung jawab sosialnya kurang mendapat perhatian. Padahal semestinya ajaran agama bukan sekedar ibadah individual kepada Tuhan akan tetapi kewajiban kerja kemanusiaan atau amal shaleh dalam agama (Islam) lebih ditekankan.
Merujuk pada perspektif di atas, memang perubahan sosial di Indonesia sampai sekarang pun seiring dengan ritme perjalanan sejarahnya, yakni meliputi bidang agama, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan berbagai bidang kehidupan yang lain. Perwujudan yang kongkrit dari perubahan itu, adalah berupa upaya pembangunan yang terencana, termasuk di dalamnya sumber daya manusia. Tetapi dalam implementasinya, proses pembangunan tidak jarang menimbulkan disorientasi, seperti alienasi (keterasingan dan kerenggangan) dan dehumanisasi (“penjungkirbalikan” nilai-nilai kemanusiaan) bahkan konflik horisontal pun yang tak kunjung selesai.
Hal ini sejalan dengan pandangan Faisal Ismail (2001:239), bahwa alienasi tersebut menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya. Semua itu, akibat dari pola pembangunan yang lebih memprioritaskan aspek fisik atau kebendaan semata. Dehumanisasi semakin marak – ekses dari proses pembangunan yang mementingkan praktis-pragmatis di atas nilai-nilai kemanusiaan. Manusia tidak lebih dari obyek pembangunan ketimbang subyek pembangunan.
Kenyataan ini, pada gilirannya dapat menciptakan semangat penolakan dan perlawanan dari pihak yang merasa dimarginalkan. Teori sosiologi mendeskripsikan bahwa semakin kuatnya tekanan tehadap keberadaan kelompok tertentu, maka akan semakin mempercepat munculnya semangat militansi untuk mempertahankan eksistensinya. Begitu halnya di Indonesia, semakin represif para penguasa (semisal di era rezim Orba) membatasi aktivitas umat Islam, yang pada gilirannya semakin tumbuh subur munculnya aliran-aliran yang bernuansa radikalisme. Perubahan yang dihendaki oleh kelompok radikal keagamaan, biasanya cenderung revolusioner dan mendasar. Mereka beranggapan, bahwa dengan merubah secara mendasar seluruh aspek kehidupan manusia dan sekaligus melawan dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan, adalah sesuatu perwujudan kewajiban religius yang harus dilaksanakan.
Pada hakikatnya seluruh agama menghendaki adanya perubahan dalam setiap kehidupan manusia. “Agama” dan “Perubahan” merupakan dua entitas yang seperti berdiri masing-masing. Namun, belum tentu setiap dua entitas atau lebih, adalah sesuatu yang berbeda atau bahkan berlawanan. Kemungkian saja dua entitas itu saling melengkapi ( complementary), dan boleh jadi saling mensifati satu sama lain. Bisa juga, “agama” dan “perubahan” dipahami sebagai hal yang overlapping. Artinya, “perubahan” dalam pandangan sebagian kalangan, justru dianggap sebagai inti ajaran agama. Sebagian pengiat sosiologi dan sosiologi agama, seperti Ibnu Khaldun, Max Weber, Emile Durkheim, Peter L.Berger, Ali Syariati, Robert N.Bellah, dan yang lainnya menyiratkan pandangannya tentang hubungan antara agama dan perubahan sosial.
Makna “perubahan” kemudian dirumuskan oleh agama setidaknya Islam, sebagai keharusan universal – meminjam istilah Islam sunnnahtullah – agar dapat merubah dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, ketertindasan dan dari berbagai macam yang bersifat dehumanisasi menuju terwujudnya masyarakat/umat yang berprikemanusian dan berperadaban. Paling tidak, agama mengajarkan nilai-nilai seperti itu, selain doktrin-doktrin yang bersifat ritual. Sebab, dapat dibayangkan apabila kehadiran agama di tengah-tengah hingar-bingarnya akselerasi kehidupan manusia tidak dapat menawarkan semangat perubahan, maka eksistensi agama akan menjadi pudar. Dengan kata lain, kalau sudah demikian, tidak mustahil agama akan ditinggalkan oleh umatnya dan boleh jadi belakangan menjadi “gulung tikar” karena dianggap sudah tidak up to date.
Oleh karena itu, diperlukan pemahaman diskursus “agama” di satu sisi, dan “perubahan” di sisi lain sebagai bagian satu entitas yang tak dapat dipisahkan-sebab yang satu mensifati yang lain. “Perubahan” berfungsi sebagai sifat “kecenderungan”, “titik tekan”, atau “melingkupi” keberadaan agama. Ilustrasi ini dapat diambil contoh dari berbagai peristiwa di belahan dunia tentang perubahan sosial yang diakibatkan ekses dari agama, seperti, gerakan Protestan Lutheranian, revolusi Islam Iran, atau belakangan kasus bom Bali di Indonesia.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam lapangan sosiologi dan antropologi, perubahan sosial adalah wacana inti di mana penelitian dan perbedaan pendapat para ahli terjadi. Sejauh manusia sebagai pendukung kehidupan social dan budaya masih hidup, selama itu pula perubahan akan terjadi. Kontak dengan budaya lain yang melahirkan difusi, utamanya penemuan-penemuan baru, perluasan yang cepat pada mekanisme pendidikan formal, intensitas konflik terhadap nilai-nilai yang ada akibat sistem sosial yang terbuka dan terbukanya antisipasi masa depan merupakan daya dorong utama terjadinya perubahan.
Perkembangan dunia yang semakin maju disertai dengan era globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat dalam beberapa bidang kehidupan masyarakat, seperti medis, hukum, sosial serta ekonomi telah membawa pengaruh yang besar, termasuk persoalanpersoalan hukum.1 Masyarakat Islam sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari dunia, tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan yang menyangkut kedudukan hukum suatu persoalan.



Tidak ada komentar: